Aku bergegas menuruni bukit menuju ke arah belakang. Lutut kanan aku yang merah berdarah melambatkan gerakan aku. Aku tidak peduli. Bukan sebab ia tidak menyakitkan, Tetapi luka dan cedera di lain-lain bahagian badan membuat aku tidak memperdulikan.
Jauh di sebelah kanan, berkepul-kepul asap dari loji Normanton yang terbakar meluru dan menutup pemandangan dan menyesakkan paru-paru. Tapi, aku tidak punya masa untuk meneliti itu semua. Aku harus segera sampai ke Alexandra.
Akhirnya aku sampai juga. Tapi aku sudah terlambat. Mereka sudah lebih awal tiba dari aku. Kedengaran suara-suara halus menjerit dalam kesakitan dan ketakutan, meminta tolong. Aku tak tau samada itu suara pesakit atau suara jururawat. Mungkin antaranya suara Alexandra.
'Alexi, di mana kau', aku bertanya dalam hati sambil mengagahkan langkah aku masuk dari ruangan tepi rumah sakit. Tangan aku memegang erat belati Kepten Rix. Darah masih mengalir deras dari kaki kanan ku meninggal jejak garisan merah.
Perlahan aku menolak daun pintu dan melangkah dengan sangat berhati-hati. Melihat ke dalam, aku tidak terkejut. Badan-badan yang kaku bergelimpangan dan berselerakan. Darah merah seolah tersimbah di serata penjuru. Hasil tangan anak buah Mutaguchi. Aku yakin.
Aku sentuh salah satu sosok yang tergelimpang. Suam-suam. Baru saja 45 mungkin. Aku putarkan kepalanya supaya matanya yang terjegil tidak lagi merenung aku. Aku harus segera bergerak mencari Alexandra sebelum terlambat.
Instagram
6 years ago